Pages

Selasa, 26 Februari 2013

Standarisasi UAN, Perlukah?



Beberapa tahun ini penetapan standarisasi untuk Ujian Akhir Nasional agaknya menjadi momok yang menakutkan buat banyak orang. Baik itu orang tua maupun siswa, bahkan guru-guru. Tak jarang menggunakan berbagai cara agar bisa mendapatkan bocoran soal atau kunci jawaban. Desas-desus yang saya dengar sih, ada beberapa sekolah yang mau membayar untuk mendapatkannya. Tapi karena tidak bisa membuktikannya saya tidak akan menyebutkan nama sekolah tersebut.

Menjelang ujian akhir bukan hal yang baru anak-anak akan mengikuti pelajaran tambahan. Ada yang memang diprogramkan dari sekolah, ada pula yang membayar secara khusus di tempat bimbingan belajar. Bimbingan belajar yang paling laris tentunya yang paling banyak membantu kelulusan siswa yang belajar di tempat mereka. Ada beberapa bimbel yang terkenal memiliki bocoran soal dan kunci jawaban. Saya sendiri pernah mengajar di tempat bimbingan belajar yang dimaksud tapi tak menemukan indikasi seperti itu. Entah siapa yang menyebarkan cerita seperti itu yang jelas pamor bimbel tersebut naik dan banyak siswa yang berbondong-bondong mendaftar di sana.

Harganya? Jangan tanya, menurut saya harganya sangat mahal. Beda cerita kalau orang tua sudah panik dan takut anaknya tidak lulus saat ujian nanti. Padahal tidak lulus bukan akhir dari dunia ini.

Coba kita pikirkan sejenak, seberapa penting sih standarisasi nilai untuk UAN? Padahal untuk yang ujian akhir SMA tentunya nilainya tidak menentukan dia lulus atau tidak di ujian masuk universitas negeri yang dia inginkan. Masih ada tes lain yang harus dijalani. Terlepas dari jatah untuk siswa yang berprestasi.

Bayangkan selama ini berapa banyak dampak negatif yang terjadi dengan adanya standarisasi nilai ujian. Meskipun memang tetap ada dampak positifnya. Tapi mengapa baru beberapa tahun terakhir ini ditetapkan standarisasi untuk ujian? Saat masih berstatus sebagai staf pengajar di sebuah pusat bimbingan belajar, saya harus rela melihat siswa yang kelelahan belajar. Belum lagi siswa yang sibuk mencari bocoran soal. Bahkan ada yang berburu soal kemudian menyebarkannya ke sekolah-sekolah. Sambil mendapatkan soal untuk dirinya, dia juga menjual soal-soal tersebut.

Saya pernah berada di posisi mereka. Menjalani ujian yang berstandar, tapi waktu itu standarnya masih rendah, hanya 4.01. Berbeda dengan sekarang yang terus saja naik. Bagaimana dengan kualitas bahan ajar dan tenaga pengajarnya? Berstandarkah?

Dibandingkan membuat standar untuk ujian akhir, saya pikir lebih baik memberlakukan tes masuk tidak hanya di jenjang universitas. Melainkan dimulai dari tingkat pendidikan paling rendah selain TK dan PAUD.

Jadi ketika ada anak yang sudah berusia 7 tahun dan ingin sekolah di SD yang dia inginkan, dia harus lulus tes masuk SD tersebut. Standar ditentukan oleh pihak sekolah. Begitu pula yang sudah menyelesaikan kelas 9 atau kelas 3 SMP, tinggal mengikuti tes masuk SMA yang dia inginkan. Tidak lulus boleh menunggu tes tahun berikutnya atau mencoba di SMA yang lain. Siswa yang memilih untuk menunggu akan mendapatkan surat tanda tamat SMP. Bagi yang masih ingin belajar agar bisa lebih siap untuk tes masuk di jenjang yang lebih tinggi bisa mengulang kelas akhir sekolahnya. Siswa SD bisa mengulang kelas 6 lagi dan siswa SMP mengulang kelas 9 atau kelas 3.

Tidak lulus di sekolah yang pertama masih bisa juga mengambil tes masuk di sekolah yang lain.

Dengan begitu siswa tidak akan berlomba-lomba buat mencurangi kertas ujian akhir sekolahnya. Melainkan lebih giat belajar untuk masuk di sekolah yang dia inginkan. Tapi perubahan sebesar ini memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh dukungan dari pihak sekolah untuk menghasilkan tes masuk yang benar-benar jujur.

Kita hanya perlu percaya dan mencoba.

Kalaupun memang ada sesuatu hal yang perlu diberi standar itu adalah kualifikasi untuk menjadi guru. Saya sendiri miris melihat teman-teman yang berasal dari fakultas non-keguruan mengambil kuliah tambahan untuk mendapatkan akta mengajar. Saya tahu sih, banyak yang berlomba-lomba untuk menjadi PNS. Mereka tergiur dengan gaji yang sudah pasti setiap bulannya. Apakah layak hal yang seperti ini terjadi di ranah pendidikan negara kita?

Kita butuh tenaga pengajar yang kompeten. Bukan hanya memilih profesi guru karena uang dan jabatan. Melainkan benar-benar dari kesungguhan hati dan memiliki kemampuan untuk mengajar. Coba ingat-ingat berapa jumlah guru yang mengajar kita tetapi sama sekali tak mampu membuat kita paham dengan mata pelajaran yang sedang dia ajarkan? Berapa sering kita akhirnya menghabiskan jam pelajaran untuk mencatat setiap kata yang dia diktekan.

Saya pernah berada di bangku sekolah yang menerapkan CBSA, Catat Buku Sampai Habis. Padahal ujung-ujungnya catatan tersebut tidak terbaca semua karena terlampau banyak.

Seberapa perlu standarisasi di dunia pendidikan? Sangat perlu tapi bukan hanya untuk ujian akhir nasional. Berikan standar yang tepat untuk tenaga pengajar yang berada di balik meja dan papan tulis sekolah negara kita. Siswa kita butuh guru yang berkompeten untuk mendidik mereka menjadi siswa yang cerdas.

Karena mereka penerus bangsa dan negara kita nantinya.

0 komentar:

Posting Komentar