Pages

Jumat, 01 Maret 2013

REALITA, ETIKA, DAN ESTETIKA MAHASISWA SEBAGAI INSAN AKADEMIK

OPINI

REALITA, ETIKA, DAN ESTETIKA MAHASISWA SEBAGAI INSAN AKADEMIK



OLEH:
NAMA          : MUHAMMAD SYAHRUL
NIM              : 091404035      
KLS/ KLP    : A / X


JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2009


REALITA, ETIKA, DAN ESTETIKA MAHASISWA SEBAGAI INSAN AKADEMIK

Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai “etika dan estetika mahasiswa”, saya ingin berpendapan tentang mahasiswa dan peranannya. Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa. Tetapi pada dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai mahasiswa di sebuah Perguruan Tinggi hanyalah syarat administratif menjadi mahasiswa, tetapi menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratif itu sendiri.
Menyandang gelar mahasiswa merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan. Betapa tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar. Pengertian mahasiswa tidak bisa diartikan kata per kata, Mahasiswa adalah Seorang agen pembawa perubahan. Menjadi seorang yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat bangsa di berbagai belahan dunia.
Sebenarnya dalam konteks yang berbeda dengan apa yang saya katakan mengenai peranan mahasiswa, banyak sekali peranan mahasiswa baik internal maupun eksternal, baik mahasiswa itu sendiri maupun masyarakat. Tapi saya kira, hanya ada tiga garis besar peranan mahasiswa.
Pertama, peranan moral, dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau. Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai indidu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, adalah peranan sosial. Selain tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan sosial, yaitu bahwa keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Ketiga, adalah peranan intelektual. Mahasiswa sebagai orang yang disebut-sebut sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki selama menjalani pendidikan.
Dalam masyarakat sebelum sekarang, atau dalam artian tahun 1990-an, mahasiswa dianggap mampu memberikan kesejahtraan bagi masyarakat dengan kebijakan yang ditawarkan kepada pemimpin, sehingga dengan demikian secara otomatis nama mahasiswa dibesar-besarkan oleh seluruh lapisan masyarakat. Fakta dan realita itu kini tinggal sebuah cerita masa jaya mahasiswa, kini masyarakat sudah memandang mahasiswa sebagai sekumpulan pemuda yang tak ada gunananya. Fakta yang terjadi sekarang adalah, ketika seorang mahasiswa bersorak menolak suatu kebijakan pemerintah yang berlawanan dengan keinginan masyarakat, tak serta-merta didukung oleh sebagian besar masyrakat. Ada beberapa penyebab yang ingin saya katakan dalam opini dalam bentuk artikel ini, :
1.      Mahasiswa yang merupakan calon pemimpin masa depan, tidak sama sekali menggambarkan sebagai calon pemimpin. Apakah dengan merugikan orang lain yang hendak menjalankan aktifitas, apakah dengan menghancurkan prasarana yang disiapkan pemerintah? Sebuah pertanyaan besar bagi mahasiswa yang melampiaskan kekecewaan dengan berbuat brutal.
2.      Saling bunuh membunuh, tak ada bedanya dengan preman yang ada dipinggir jalan. Menghancurkan rumah sendiri, tempat memperoleh pengetahuan untuk mencapai apa yang ada dipikiran masyarakat, bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat masih berharap, Mahasiswa menjadi agen perubahan. Posisinya memiliki peranan yang penting dalam upaya mengubah tatanan kehidupan bangsa dan negara. Termasuk dalam upaya mengulingkan kekuasaan yang dinilai rakus, serakah, dan bertingkah laku melawan peraturan yang berlaku. Hal ini cukup beralasan, karena mahasiswa harus berada di garda paling depan untuk melakukan perubahan dalam mewarnai sejarah demokrasi di muka bumi ini. Namun sangat disayangkan, jika seseorang berstatus mahasiswa, namun aktivitasnya hanya berkutat pada sesuatu yang kurang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebab, terlahirnya mahasiswa di tengah kerumunan tentunya diharapkan dapat memberikan angin perubahan, dalam upaya melawan ketidakadilan dan kebengisan. Kondisi ini diakibatkan kecongkakan penguasa yang menindas rakyat hingga tergilas.

Mahasiswa dengan segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan rakyat dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Mahasiswa pun masih tergolong kaum idealis, dimana keyakinan dan pemikiran mereka belum dipengarohi oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa menurut saya tepat bila dikatakan memiliki posisi diantara masyarakat dan pemerintah.
Tetapi apa boleh di kata, seiring dengan berjalannya waktu, dinamika mahasiswa dewasa ini mulai beraneka warna. Ada aktivitas mahasiswa yang normal berjalan apa adanya, layaknya anak TK dan SD, berangkat pagi pulang sore. Tetapi ada pula yang memilih jalan hidup serampangan. Ada juga yang hidupnya melampiaskan hidupnya pada nafsu birahi (seks bebas). Penyakit ini kini sudah sangat menghawatirkan dan prilaku ini dianggap barang biasa. Bila tindakan amoral seperti ini dianggap sesuatu biasa, mau jadi apa tunas-tunas bangsa di masa depan nanti. Hindarilah kenikmatan sesaat ini, karena hanya berujung kepada lembah kenistaan.
Terlepas dari semua itu, hadirnya mahasiswa sejatinya dapat memberikan solusi atas masalah yang ada. Khususnya di tengah gelap gulitanya himpitan persoalan yang membelit kepentingan masyarakat. Di saat itulah, mahasiswa terkadang dihadapkan pada posisi dilematis. Apakah bergerak untuk melawan, meski terkadang selalu diartikan sebagai mahasiswa bayaran. Diam dan membisu pun melahirkan banyak kecaman. Terutama ketika mahasiswa demontrasi turun ke jalan. Menyikapi hal itu, sebagai mantan demonstran, langkah yang harus dilakukan setidaknya saat lonceng gerakan mahasiswa disuarakan, etika dan estetika wajib harus dikedepankan. Agar pergerakan mahasiswa sebagai bagian demokrasi tidak disalah artikan. Efeknya, masyarakat bisa memberikan cap jempol atas aksi yang memperjuangkan atas nama rakyat. Hingga akhirnya, tekanan yang sifatnya politis, ekonomis, apatis, maupun oportunis bisa dihindari. Oleh karena itu, saya menekankan agar mahasiswa perlu diingatkan kembali, bahwasanya demo bukan merupakan jalan terakhir. Hal itu dilakukan, ketika persoalan menemui jalan buntu ketika mengupas suatu persoalan. Di saat itulah, “teriakan di jalanan” diharapkan dapat membuka pintu komunikasi yang selama terkunci. Dan Win-Win Solution dapat dirasakan kedua belah pihak, yang bersebrangan pandangan. Untuk menghindari bentrokan dan kesalahpahaman saat melaksanakan aksi, tentunya diperlukan tata cara atau istilahnya disebut Manajemen Aksi. Artinya, pengelolaan bagaimana tata cara yang perlu diperhatikan saat hendak melakukan unjuk rasa. Tujuanya, agar dapat membuhkan hasil, sebagaimana yang diharapkan bersama, dengan tidak menyimpang dari tujuan mulia.
            Merujuk kepada harapan yang kita hadapkan kepada mahasiswa, tak terlepas kepada bagaimana mahasiswa itu membangun etika yang baik dan mempunyai estetika mulai dari dalam kampus itu sendiri. Mahasiswa yang pada dasarnya merupakan subjek atau pelaku di dalam pergerakan pembaharuan atau subjek yang akan menjadi generasi-generasi penerus bangsa dan membangun bangsa dan tanah air ke arah yang lebih baik dituntut untuk memiliki etika. Etika bagi mahasiswa dapat menjadi alat kontrol di dalam melakukan suatu tindakan. Etika dapat menjadi gambaran bagi mahasiswa dalam mengambil suatu keputusan atau dalam melakukan sesuatu yang baik atau yang buruk. Oleh karena itu, makna etika harus lebih dipahami kembali dan diaplikasikan di dalam lingkungan mahasiswa yang relitanya lebih banyak mahasiswa yang tidak sadar dan tidak mengetahui makna etika dan peranan etika itu sendiri, sehingga bermunculanlah mahasiswa-mahasiswi yang tidak memiliki akhlaqul karimah, seperti mahasiswa yang tidak memiliki sopan dan santun kepada para dosen, mahasiswa yang lebih menyukai hidup dengan bebas, mengonsumsi obat-obatan terlarang, pergaulan bebas antara mahasiswa dengan mahasiswi, berdemonstrasi dengan tidak mengikuti peraturan yang berlaku bahkan hal terkecil seperti menyontek disaat ujian dianggap hal biasa padahal menyontek merupakan salah satu hal yang tidak mengindahkan makna dari etika. Perlu Anda ketahui bahwa realita banyaknya bermunculan para koruptor di Indonesia disebabkan oleh seseorang yang tidak memahami arti kata dari iman dan etika. Banyak orang yang beranggapan dan meyakini para koruptor yang ada sekarang adalah seorang yang dahulunya terbiasa melakukan tindakan menyontek di saat ujian tanpa merasa bersalah, lebih tepatnya mencontek memiliki makna yang sama dengan kecurangan. Jadi menyontek diibaratkan dengan korupsi mengambil hak seseorang tanpa izin dan meraih sesuatu tanpa memikirkan apakah cara yang digunakannya benar atau salah dan ini semua berhubungan dengan etika.
            Suasana kampus yang memungkinkan terjadinya ketidak cocokan antar sesama mahasiswa juga merupakan pemicu kesalahpahaman sesama kaum intelektual. Oleh karena itu, menciptakan suasana kampus yang indah dan tertata rapi akan menciptakan kenyamanan bagi mahasiswa. Juga yang merupakan hal tidak kalah penting yaitu keamanan kampus, banyak diantara mahasiswa yang mungkin merasa kurang aman dengan keadaan kampus. Dengan suasana kampus yang seperti ini memungkinkan terjadinya suasana kekeluargaan sesama mahasiswa dalam kampus.
           
Mengutip beberapa macam ETIKA yang harus di ketahui oleh mahasiswa :
A.     ETIKA PERGAULAN
Etika pergaulan merupakan seperangkat nilai yang diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam berinteraksi dengan sesama warga sivitas akademika dan masyarakat sekitarnya. Dalam pergaulan antar warga sivitas akademika, mahasiswa mengembangkan kepribadian, sopan santun, nilai-nilai budaya dan agama, sebgai landasan utamanya. Mahasiswa mampu bergaul secara baik dengan sesama mahasiswa, dosen, karyawan, dan masyarakat sekitar kampus sebagai langkah awal untuk menciptakan iklim kerjasama yang kondusif.
Dalam pergaulan mahasiswa saling menghormati satu sama lain, yang tercermin dalam acara memanggil, berbicara, menegur, meminta dan berdiskusi. Dalam bergaul mahasiswa tidak membedakan suku, ras, latar belakang sosial ekonomi, dan agama. Mahasiswa dalam pergaulan senantiasa menunjukkan kepekaan, kepedulian, serta rasa kesetiakawanan sosial.
B.     ETIKA BERKREASI
Etika berkreasi merupakan seperangkat nilai yang diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam penciptaan karya dalam bentuk tulisan, gambar, poster, leaflet, tarian, puisi, dan sebagainya. Mahasiswa pada dasarnya harus memiliki sikap kreatif sebagai insane akademis.
Sikap kreatif sebagaimana dimaksud dilandasi oleh kejujuran sikap, kritis dan rasional. Sikap kreatif mahasiswa terutama ditunjukkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta menjunjung tinggi nama baik almamater, dengna menekankan pada upaya mewujudkan hasil karya yang langka dan orisinil.
Sikap kreatif dikembangkan dengan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai moral keagamaan.
C.     ETIKA BEREKSPRESI
Etika berekspresi merupakan seperangkat nilai yang diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam berekspresi, yakni mengemukakan pendapat, pandangan, ide, atau gagasan, serta konsep, baik secara lisan maupun tertulis, sebagai bagian dari upaya pengkajian ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya, serta dalam fungsi sebagi kontrol sosial.
Sebagai bagian dari insane akademik mahasiswa mempunyai kebebasan akademik. Mahasiswa bebas dalam mengungkapkan pendapat, pandangan, ide atau gagasan, konsep dan semacamnya di lingkungan kampus, baik di dalam maupun di luar forum perkuliahan. Kebebasan sebagaimana dimaksud didasari motif yang baik dan konstruktif, serta dilakukan dengan cara-cara yang santun, bertanggung jawab, dengan memperhatikan norma/kaidah keilmuan, nilai-nilai kepribadian bangsa, dan segala ketentuan yang berlaku.
Dalam rangka ini maka ungkapan-ungkapan yang bersifat penghinaan, pelecehan, fitnah, dan pencemaran nama baik terhadap pihak-pihak tertentu merupakan sesuatu yang layaknya dihindarkan.
D.     ETIKA BERBUSANA
Etika berbusana merupakan seperangkat nilai yang diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam berpakaian dan/atau berdandan. Mahasiswa sebagai insane akademik hendaknya membiasakan berbusana yang mencerminkan nilai-nilai etis, estetis, dan religius, sehingga menampakkan keberadaannya sebagai warga sivitas akademika yang sopan dan berbudaya.
Berbusana yang tidak mencerminkan nilai0nilai sebagaimna disebutkan diatas justru akan menrendahkan martabatnya sebagai insane cendekia. Ketika mahasiswa mengikuti kuliah atau berurusan dengan birokrasi dikampus dengan berpakaian rapi, bersih dan sopan, dapat mencerminkan penampilan sebagai insan akademis.
Harapan saya, semoga rangkaian tulisan ini, bisa menambah wawasan pengetahuan bagi para aktivis mahasiswa untuk terus menyalakan semangat kebersamaan untuk meyongsong masa depan yang lebih baik. Sekaligus menghindari presepsi buruk di masyarakat ,yang kerap menyudutkan mahasiswa pada rutinitas yang kurang berkenan di hati masyarakat. Tetapi sekedar mengingatkan masyarakat juga, sejarah membuktikan bahwa berdirinya roda pemerintahan hingga saat ini, berikut dinamikanya tidak terlepas dari sosok pemuda dan mahasiswa. Persoalanya, apakah kita bisa seperti mereka? Jawabannya, dikembalikan kepada pribadi masing-masing, untuk bisa mengikuti rekam jejak langknya. Membuang yang buruk, memetik dan menerapkan yang positif. Merdeka!!!


0 komentar:

Posting Komentar