![]() ![]() ![]()
OLEH:
NAMA : MUHAMMAD SYAHRUL
NIM : 091404035
KLS/
KLP : A / X
JURUSAN
BIOLOGI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
2009
|

Sebelum kita membahas lebih jauh
mengenai “etika dan estetika mahasiswa”, saya ingin berpendapan tentang
mahasiswa dan peranannya. Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan
tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar
sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa. Tetapi pada
dasarnya makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai mahasiswa di
sebuah Perguruan Tinggi hanyalah syarat administratif menjadi mahasiswa, tetapi
menjadi mahasiswa mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah
administratif itu sendiri.
Menyandang gelar mahasiswa merupakan
suatu kebanggaan sekaligus tantangan. Betapa tidak, ekspektasi dan tanggung
jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar. Pengertian mahasiswa tidak bisa
diartikan kata per kata, Mahasiswa adalah Seorang agen pembawa perubahan.
Menjadi seorang yang dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi
oleh suatu masyarakat bangsa di berbagai belahan dunia.
Sebenarnya dalam konteks yang
berbeda dengan apa yang saya katakan mengenai peranan mahasiswa, banyak sekali
peranan mahasiswa baik internal maupun eksternal, baik mahasiswa itu sendiri
maupun masyarakat. Tapi saya kira, hanya ada tiga garis besar peranan mahasiswa.
Pertama, peranan
moral, dunia kampus merupakan dunia
di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau.
Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing
sebagai indidu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan
sesuai dengan moral yang hidup dalam masyarakat.
Kedua, adalah
peranan sosial. Selain
tanggung jawab individu, mahasiswa juga memiliki peranan sosial, yaitu bahwa
keberadaan dan segala perbuatannya tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri
tetapi juga harus membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya.
Ketiga, adalah
peranan intelektual. Mahasiswa
sebagai orang yang disebut-sebut sebagai insan intelek haruslah dapat
mewujudkan status tersebut dalam ranah kehidupan nyata. Dalam arti menyadari
betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah bergelut dengan ilmu pengetahuan dan
memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang ia miliki
selama menjalani pendidikan.
Dalam masyarakat sebelum sekarang,
atau dalam artian tahun 1990-an, mahasiswa dianggap mampu memberikan
kesejahtraan bagi masyarakat dengan kebijakan yang ditawarkan kepada pemimpin,
sehingga dengan demikian secara otomatis nama mahasiswa dibesar-besarkan oleh
seluruh lapisan masyarakat. Fakta dan realita itu kini tinggal sebuah cerita
masa jaya mahasiswa, kini masyarakat sudah memandang mahasiswa sebagai
sekumpulan pemuda yang tak ada gunananya. Fakta yang terjadi sekarang adalah,
ketika seorang mahasiswa bersorak menolak suatu kebijakan pemerintah yang
berlawanan dengan keinginan masyarakat, tak serta-merta didukung oleh sebagian
besar masyrakat. Ada beberapa penyebab yang ingin saya katakan dalam opini
dalam bentuk artikel ini, :
1.
Mahasiswa
yang merupakan calon pemimpin masa depan, tidak sama sekali menggambarkan
sebagai calon pemimpin. Apakah dengan merugikan orang lain yang hendak
menjalankan aktifitas, apakah dengan menghancurkan prasarana yang disiapkan
pemerintah? Sebuah pertanyaan besar bagi mahasiswa yang melampiaskan kekecewaan
dengan berbuat brutal.
2.
Saling
bunuh membunuh, tak ada bedanya dengan preman yang ada dipinggir jalan.
Menghancurkan rumah sendiri, tempat memperoleh pengetahuan untuk mencapai apa
yang ada dipikiran masyarakat, bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual.
Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat masih
berharap, Mahasiswa menjadi agen perubahan. Posisinya memiliki peranan yang
penting dalam upaya mengubah tatanan kehidupan bangsa dan negara. Termasuk
dalam upaya mengulingkan kekuasaan yang dinilai rakus, serakah, dan bertingkah
laku melawan peraturan yang berlaku. Hal ini cukup beralasan, karena mahasiswa
harus berada di garda paling depan untuk melakukan perubahan dalam mewarnai
sejarah demokrasi di muka bumi ini. Namun sangat disayangkan, jika seseorang
berstatus mahasiswa, namun aktivitasnya hanya berkutat pada sesuatu yang kurang
bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Sebab, terlahirnya mahasiswa di
tengah kerumunan tentunya diharapkan dapat memberikan angin perubahan, dalam
upaya melawan ketidakadilan dan kebengisan. Kondisi ini diakibatkan kecongkakan
penguasa yang menindas rakyat hingga tergilas.
Mahasiswa dengan
segala kelebihan dan potensinya tentu saja tidak bisa disamakan dengan rakyat
dalam hal perjuangan dan kontribusi terhadap bangsa. Mahasiswa pun masih
tergolong kaum idealis, dimana keyakinan dan pemikiran mereka belum dipengarohi
oleh parpol, ormas, dan lain sebagainya. Sehingga mahasiswa menurut saya tepat
bila dikatakan memiliki posisi diantara masyarakat dan pemerintah.
Tetapi apa boleh di kata, seiring dengan
berjalannya waktu, dinamika mahasiswa dewasa ini mulai beraneka warna. Ada
aktivitas mahasiswa yang normal berjalan apa adanya, layaknya anak TK dan
SD, berangkat pagi pulang sore. Tetapi ada pula yang memilih jalan hidup
serampangan. Ada juga yang hidupnya melampiaskan hidupnya pada nafsu birahi
(seks bebas). Penyakit ini kini sudah sangat menghawatirkan dan prilaku ini
dianggap barang biasa. Bila tindakan amoral seperti ini dianggap sesuatu biasa,
mau jadi apa tunas-tunas bangsa di masa depan nanti. Hindarilah kenikmatan
sesaat ini, karena hanya berujung kepada lembah kenistaan.
Terlepas
dari semua itu, hadirnya mahasiswa sejatinya dapat memberikan solusi atas
masalah yang ada. Khususnya di tengah gelap gulitanya himpitan persoalan yang
membelit kepentingan masyarakat. Di saat itulah, mahasiswa terkadang dihadapkan
pada posisi dilematis. Apakah bergerak untuk melawan, meski terkadang selalu
diartikan sebagai mahasiswa bayaran. Diam dan membisu pun melahirkan banyak
kecaman. Terutama ketika mahasiswa demontrasi turun ke jalan. Menyikapi hal
itu, sebagai mantan demonstran, langkah yang harus dilakukan setidaknya saat
lonceng gerakan mahasiswa disuarakan, etika dan estetika wajib harus
dikedepankan. Agar pergerakan mahasiswa sebagai bagian demokrasi tidak disalah
artikan. Efeknya, masyarakat bisa memberikan cap jempol atas aksi yang
memperjuangkan atas nama rakyat. Hingga akhirnya, tekanan yang sifatnya
politis, ekonomis, apatis, maupun oportunis bisa dihindari. Oleh karena itu,
saya menekankan agar mahasiswa perlu diingatkan kembali, bahwasanya demo bukan
merupakan jalan terakhir. Hal itu dilakukan, ketika persoalan menemui jalan
buntu ketika mengupas suatu persoalan. Di saat itulah, “teriakan di jalanan”
diharapkan dapat membuka pintu komunikasi yang selama terkunci. Dan Win-Win
Solution dapat dirasakan kedua belah pihak, yang bersebrangan pandangan. Untuk
menghindari bentrokan dan kesalahpahaman saat melaksanakan aksi, tentunya
diperlukan tata cara atau istilahnya disebut Manajemen Aksi. Artinya,
pengelolaan bagaimana tata cara yang perlu diperhatikan saat hendak melakukan
unjuk rasa. Tujuanya, agar dapat membuhkan hasil, sebagaimana yang diharapkan
bersama, dengan tidak menyimpang dari tujuan mulia.
Merujuk kepada harapan yang kita
hadapkan kepada mahasiswa, tak terlepas kepada bagaimana mahasiswa itu
membangun etika yang baik dan mempunyai estetika mulai dari dalam kampus itu
sendiri. Mahasiswa yang pada dasarnya merupakan subjek atau pelaku di dalam
pergerakan pembaharuan atau subjek yang akan menjadi generasi-generasi penerus
bangsa dan membangun bangsa dan tanah air ke arah yang lebih baik dituntut
untuk memiliki etika. Etika bagi mahasiswa dapat menjadi alat kontrol di dalam
melakukan suatu tindakan. Etika dapat menjadi gambaran bagi mahasiswa dalam
mengambil suatu keputusan atau dalam melakukan sesuatu yang baik atau yang
buruk. Oleh karena itu, makna etika harus lebih dipahami kembali dan
diaplikasikan di dalam lingkungan mahasiswa yang relitanya lebih banyak
mahasiswa yang tidak sadar dan tidak mengetahui makna etika dan peranan etika
itu sendiri, sehingga bermunculanlah mahasiswa-mahasiswi yang tidak memiliki
akhlaqul karimah, seperti mahasiswa yang tidak memiliki sopan dan santun kepada
para dosen, mahasiswa yang lebih menyukai hidup dengan bebas, mengonsumsi
obat-obatan terlarang, pergaulan bebas antara mahasiswa dengan mahasiswi,
berdemonstrasi dengan tidak mengikuti peraturan yang berlaku bahkan hal
terkecil seperti menyontek disaat ujian dianggap hal biasa padahal menyontek
merupakan salah satu hal yang tidak mengindahkan makna dari etika. Perlu Anda
ketahui bahwa realita banyaknya bermunculan para koruptor di Indonesia
disebabkan oleh seseorang yang tidak memahami arti kata dari iman dan etika.
Banyak orang yang beranggapan dan meyakini para koruptor yang ada sekarang
adalah seorang yang dahulunya terbiasa melakukan tindakan menyontek di saat
ujian tanpa merasa bersalah, lebih tepatnya mencontek memiliki makna yang sama
dengan kecurangan. Jadi menyontek diibaratkan dengan korupsi mengambil hak
seseorang tanpa izin dan meraih sesuatu tanpa memikirkan apakah cara yang
digunakannya benar atau salah dan ini semua berhubungan dengan etika.
Suasana kampus yang memungkinkan
terjadinya ketidak cocokan antar sesama mahasiswa juga merupakan pemicu
kesalahpahaman sesama kaum intelektual. Oleh karena itu, menciptakan suasana
kampus yang indah dan tertata rapi akan menciptakan kenyamanan bagi mahasiswa.
Juga yang merupakan hal tidak kalah penting yaitu keamanan kampus, banyak
diantara mahasiswa yang mungkin merasa kurang aman dengan keadaan kampus.
Dengan suasana kampus yang seperti ini memungkinkan terjadinya suasana
kekeluargaan sesama mahasiswa dalam kampus.
Mengutip beberapa
macam ETIKA yang harus di ketahui oleh mahasiswa :
A.
ETIKA PERGAULAN
Etika pergaulan merupakan seperangkat nilai yang
diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam berinteraksi dengan sesama warga
sivitas akademika dan masyarakat sekitarnya. Dalam pergaulan antar warga
sivitas akademika, mahasiswa mengembangkan kepribadian, sopan santun,
nilai-nilai budaya dan agama, sebgai landasan utamanya. Mahasiswa mampu bergaul
secara baik dengan sesama mahasiswa, dosen, karyawan, dan masyarakat sekitar
kampus sebagai langkah awal untuk menciptakan iklim kerjasama yang kondusif.
Dalam pergaulan mahasiswa saling menghormati satu
sama lain, yang tercermin dalam acara memanggil, berbicara, menegur, meminta
dan berdiskusi. Dalam bergaul mahasiswa tidak membedakan suku, ras, latar
belakang sosial ekonomi, dan agama. Mahasiswa dalam pergaulan senantiasa
menunjukkan kepekaan, kepedulian, serta rasa kesetiakawanan sosial.
B.
ETIKA BERKREASI
Etika berkreasi merupakan seperangkat nilai yang
diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam penciptaan karya dalam bentuk
tulisan, gambar, poster, leaflet, tarian, puisi, dan sebagainya. Mahasiswa pada
dasarnya harus memiliki sikap kreatif sebagai insane akademis.
Sikap kreatif sebagaimana dimaksud dilandasi oleh
kejujuran sikap, kritis dan rasional. Sikap kreatif mahasiswa terutama
ditunjukkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, serta menjunjung tinggi nama baik almamater, dengna menekankan pada upaya
mewujudkan hasil karya yang langka dan orisinil.
Sikap kreatif dikembangkan dengan tetap menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan serta nilai-nilai moral keagamaan.
C.
ETIKA BEREKSPRESI
Etika berekspresi merupakan seperangkat nilai yang
diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam berekspresi, yakni mengemukakan
pendapat, pandangan, ide, atau gagasan, serta konsep, baik secara lisan maupun
tertulis, sebagai bagian dari upaya pengkajian ilmu pengetahuan sesuai dengan
bidangnya, serta dalam fungsi sebagi kontrol sosial.
Sebagai bagian dari insane akademik mahasiswa
mempunyai kebebasan akademik. Mahasiswa bebas dalam mengungkapkan pendapat,
pandangan, ide atau gagasan, konsep dan semacamnya di lingkungan kampus, baik
di dalam maupun di luar forum perkuliahan. Kebebasan sebagaimana dimaksud
didasari motif yang baik dan konstruktif, serta dilakukan dengan cara-cara yang
santun, bertanggung jawab, dengan memperhatikan norma/kaidah keilmuan,
nilai-nilai kepribadian bangsa, dan segala ketentuan yang berlaku.
Dalam rangka ini maka ungkapan-ungkapan yang
bersifat penghinaan, pelecehan, fitnah, dan pencemaran nama baik terhadap
pihak-pihak tertentu merupakan sesuatu yang layaknya dihindarkan.
D.
ETIKA BERBUSANA
Etika berbusana merupakan seperangkat nilai yang
diharapkan menjadi acuan bagi mahasiswa dalam berpakaian dan/atau berdandan.
Mahasiswa sebagai insane akademik hendaknya membiasakan berbusana yang
mencerminkan nilai-nilai etis, estetis, dan religius, sehingga menampakkan
keberadaannya sebagai warga sivitas akademika yang sopan dan berbudaya.
Berbusana yang tidak mencerminkan nilai0nilai
sebagaimna disebutkan diatas justru akan menrendahkan martabatnya sebagai insane
cendekia. Ketika mahasiswa mengikuti kuliah atau berurusan dengan birokrasi
dikampus dengan berpakaian rapi, bersih dan sopan, dapat mencerminkan
penampilan sebagai insan akademis.
Harapan saya, semoga rangkaian tulisan ini, bisa
menambah wawasan pengetahuan bagi para aktivis mahasiswa untuk terus menyalakan
semangat kebersamaan untuk meyongsong masa depan yang lebih baik. Sekaligus
menghindari presepsi buruk di masyarakat ,yang kerap menyudutkan mahasiswa pada
rutinitas yang kurang berkenan di hati masyarakat. Tetapi sekedar mengingatkan
masyarakat juga, sejarah membuktikan bahwa berdirinya roda pemerintahan hingga
saat ini, berikut dinamikanya tidak terlepas dari sosok pemuda dan
mahasiswa. Persoalanya, apakah kita bisa seperti mereka? Jawabannya, dikembalikan
kepada pribadi masing-masing, untuk bisa mengikuti rekam jejak langknya.
Membuang yang buruk, memetik dan menerapkan yang positif. Merdeka!!!
0 komentar:
Posting Komentar